16 Mei 2011
Sebuah Keputusan, Sejuta Keikhlasan - Bagian I: Gitar, Melodi, Senar
Pengambilan keputusan memang lah hal yang sangat berat bagi banyak orang. Tetapi tidak satu pun manusia bisa menafikan bahwa hidup adalah keputusan. Hidup itu bagaikan sebuah pohon, dimana percabangan - percabangan akan selalu ditemui di setiap ujung cabang yang lain, ranting - ranting di ujung ranting yang lain, sampai akhirnya berakhir di bawah tanah, pada akar. Dalam berbagai kondisi manusia mestilah menentukan sikap, mengambil pilihan yang jelas atas percabangan yang ditemui. Yang berbeda di antara mereka hanyalah lamanya waktu mereka memutuskan. Memang suatu hal yang pasti bahwa tak ada yang pasti tentang apa yang akan ditemui di ujung perjalanan.
Namaku Gitar, seorang anak manusia, laki-laki. Beberapa waktu yang lalu aku dihadapkan kepada pilihan, sikap yang mesti ku tentukan sendiri.
Senar, seorang perempuan dengan hijab yang menghiasinya, anggun sekali. Seorang yang cerdas dan penuh energi positif menyelimutinya. Mampu membawa keceriaan dalam hidup setiap orang yang dekat dengannya. Sosok yang terjaga sikap dan pergaulannya. Datang lebih awal ke dalam hidupku empat tahun yang lalu.
Melodi, seorang perempuan berkalung salib, pribadi yang sangat menawan menurutku. Mampu berbaur dengan segala tipe manusia, dan aku percaya semua lapisan masyarakat. Perempuan dengan pribadi yang kuat. Datang dua tahun kemudian setelah aku mengenal Senar.
Perempuan - perempuan itu datang karena takdir. Kita terlahir pada satu dari milyaran daun yang ada, dari pucuk yang berbeda, berasal dari percabangan hidup yang berbeda, namun bertemu pada satu ranting yang sama. Ya, kita mengalami hidup yang paralel.
Aku, jatuh pada dua hati. Logika - logika yang coba ku susun dengan pola pikirku yang acak tak mampu membuatku sampai pada keputusan yang tegas.
"Masalah hati tak bisa dipecahkan dengan logika otak, Bro. Selesaikanlah masalah hati dengan hati pula. Ikuti kemana hatimu condong." aku teringat kata - kata Pick, teman seperjuanganku yang telah ku anggap saudara sendiri.
Maka dengan hati pula aku memutuskan. Dan setiap keputusan ada konsekuensinya, memilih untuk menelusuri satu segmen ranting dan meninggalkan segmen ranting lainnya. Aku, memilih Melodi.
"Adalah merupakan hak laki - laki untuk memilih, dan hak perempuan untuk menolak." Demikian kata - kata yang terdengar tak adil itu menjadi obrolan hangat untuk beberapa waktu bersama teman - temanku di depan api unggun dengan segelas kopi hitam panas di tangan. Ya, Melodi menolak. Tetapi ku hargai keputusannya. Hitam atau putih. Hitam berarti aku takkan mencoba lagi untuk mendekati Melodi. Biarlah waktu jadi penentu.
Bagiku, keputusan adalah harga mati. Dan ketika keputusan itu sendiri mati, aku memilih untuk mati pula bersamanya.
Senar? Bagaimana dengan Senar?
Aku telah pula mengambil keputusan tentang itu. Keputusan bahwa aku tak ingin membuatnya merasa tak nyaman. Dulu kami memang cukup akrab untuk beberapa waktu. Tapi kala itu pun aku masih juga menerka-nerka keadaan. Lagipula pilihan yang ku ambil sebelumnya telah melunturkan benih - benih perasaan yang ada. Karena itu, biarlah semua berlalu seperti air sungai jernih yang mengalir. Sungai yang mengalir tak akan kembali ke hulu melalui jalur yang sama. Jika tak melalui hujan, ia dapat kembali ke hulu melalui mahluk hidup yang meminumnya. Jika memang berjodoh, di masa depan akan aku ketuk pintu rumahnya, aku temui orang tuanya, dan memastikan sendiri apa yang perlu dipastikan.
Sayang kita berada pada segmen ranting yang terlalu pendek, sehingga terlalu singkat pula waktu kita untuk menelusurinya. Hari ini, kita telah bertemu dengan percabangan baru. Kita harus mengambil keputusan. Entah, apakah keputusan yang kita ambil akan mempertemukan kita kembali di masa yang akan datang atau tidak.
Aku bukanlah seorang pluralis. Aku seorang anak manusia yang masih lagi belajar, terus belajar, untuk memilih agama ini, yang sebelumnya masih dipilihkan oleh orang tuaku, menjadi sebenar - benarnya jalan hidupku. Agama yang berarti berserah diri kepada-Nya. Agama yang ku ketahui penuh dengan kedamaian dan cara - cara indah dalam penyelesaian segala sesuatu, di tengah banyak fitnah yang disebar oleh sesama manusia juga untuk mencitrakannya sebagai golongan yang penuh kekerasan. Manusia memang senang menggolongkan diri, padahal Tuhan saja tak pernah menggolong-golongkan manusia. Dia menciptakan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita saling mengenal.
Saat ini, aku hanya tak bisa membohongi perasaan. Tetapi Dia Yang Maha Kuasa telah mengajarkan aku ilmu yang sangat berharga melalui pengalaman ini. Ilmu ikhlas.
Mungkin saja Dia sedang mempersiapkanku menjadi pemimpin di masa akan datang. Atau agar kelak siap menghadapi hidup yang lebih keras bagi orang kebanyakan, namun indah bagi orang yang telah kuat dan dekat dengan-Nya. Aku berserah diri kepada-Nya.
Dan hari ini, aku tak memilih siapa - siapa.
Karena ini bukanlah tentang siapa mencintai siapa.
Tetapi tentang hakikat cinta itu sendiri.
Kita, masih perlu banyak belajar untuk itu.
-Bersambung-
Dani Andipa Keliat
16 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)