"Nasionalis jang sedjati, jang tjintanja pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwajat, dan bukan semata - mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, - Nasionalis jang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengetjualian yang sempit budi itu. Nasionalis jang sedjati, jang nasionalismenja itu bukan semata - mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa tjinta akan manusia dan kemanusiaan, - Nasionalis jang menerima rasa nasionalismenja itu sebagai suatu wahju dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala faham keketjilan dan kesempitan. Baginja, maka rasa tjinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain - lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnja udara jang memberi tempat pada segenap sesuatu jang perlu untuk hidupnja segala hal jang hidup." (Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi)
Demikian, tulisan Bung Karno dalam buku karangannya Di Bawah Bendera Revolusi. Aku baru saja membaca buku tua yang pada masa Orde Baru adalah buku yang dilarang dan dimusnahkan, hanya sedikit yang terselamatkan. Baru 12 halaman awal yang ku baca, aku menemukan sedikit petuah beliau tentang nasionalisme seperti yang tertulis di atas. Bahwa nasionalisme adalah bukan merupakan kesombongan atau arogansi bangsa belaka, tapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan.
Buku ini aku ketahui dari seorang bapak tua yang berjualan buku bekas di depan kampus ITB. Beliau banyak tahu tentang ajaran - ajaran Bung Karno melalui membaca buku ini. Bahkan karena terlalu seringnya beliau membaca buku ini, sampai kata - kata Bung Karno pada buku ini beliau telah hafal berikut halaman dan alinea pada bukunya! Beliau juga mengajak aku berdiskusi kala itu tentang ajaran - ajaran Bung Karno, tentang pewaris darah Bung Karno yang kata beliau "sebenarnya tak tahu banyak mengenai ajaran Bung Karno", tentang politik masa kini, dan keadaan pemerintahan Indonesia hari ini yang semrawut. Beliau bercerita bahwa buku ini, sangat ditakuti oleh Presiden Soeharto pada masa kekuasaannya, sehingga jika diketahui memiliki buku ini dapat diculik dan ditindak secara militer. Syukur di tangan beliau ada satu, dan dapat terselamatkan. Beliau bercerita pula tentang sejarah ITB, sejarah pembangunan masjid Salman ITB, dan pergerakan mahasiswa ITB sesuai pengetahuan beliau yang sejak muda telah tumbuh bersama lingkungan Ganesha.
"Mahasiswa ITB sejak dulu itu, Mas. Yang membedakannya dengan yang lain yaitu kesenangannya membaca banyak buku. Kalau mahasiswa ITB udah nggak senang membaca buku, ya sama saja dengan yang lain. Semoga itu nggak terjadi lah. Bung Karno juga lulusan ITB, senang membaca dan menulis." kata beliau.
Bapak ini menunjukkan buku ini kepadaku, dan menawarkan harga 1 jutaan karena memang buku tua dan langka, ejaannya pun masih menggunakan ejaan lama, terbit tahun 1963, pemerintah kita sekarang masih belum menunjukkan niat menerbitkan edisi barunya. Tentu saja aku tak punya uang untuk membelinya meski punya keinginan besar untuk membacanya.
Aku kemudian mencari ebook-nya yang dapat ku peroleh dengan gratis. Aku menemukannya, meski hasil self scanning yang kualitasnya rendah dari orang baik hati yang bersedia sharing di sebuah forum internet.
Aku baru membaca 12 halaman dari buku ini, namun aku telah takjub dengan pemikiran Bung Karno, meski tak sedikit juga yang aku tak setuju dengan kebijakan beliau. Namun, patriotisme seorang pemimpin yang cinta rakyat dan bangsanya sangat tampak dari tulisan - tulisan Bung Karno.
"Bung Karno bilang, orang yang dekat dengan tukang buku bekas itu banyak tahu, Mas." ujar bapak tua penjual buku itu yang aku lupa namanya sembari tertawa.
Aku merasa malu terhadap bapak itu. Aku merasa pengetahuan dan cara bicaranya jauh lebih baik dibanding aku. Beliau terlihat sangat cerdas dan rendah hati. Aku bersyukur, inilah pelajaran yang aku peroleh dari berinteraksi dengan masyarakat. Aku jadi termotivasi untuk banyak membaca buku, dan juga menulis pelajaran yang aku peroleh sebagai wujud berbagi kepada sesama. Ini bukan pertama kalinya aku memperoleh pelajaran dari masyarakat. Seringkali ilmu - ilmu kehidupan serta pelajaran - pelajaran kearifan dan kebijaksanaan itu didapatkan dari masyarakat kecil
Melalui tulisan ini, aku bukan ingin bercerita tentang tulisan, pemikiran, atau ajaran Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Mungkin akan aku coba bahas tentang isi buku itu pada tulisan - tulisan selanjutnya. Hari ini aku hanya mencoba memaparkan pelajaran yang aku peroleh dari seorang tukang buku bekas. Aku percaya, kita akan dapat mencintai Indonesia seutuhnya setelah kita mengenal dan mencintai rakyatnya. Semoga kita terus belajar menjadi bijak dan selalu dekat dengan masyarakat.
Dani Andipa Keliat
28 Mei 2011