14 Juni 2011
Tiang Semua Bangsa
Tiang - tiang rumah panggung yang sederhana itu terpancang ke tanah, menyangga tiap - tiap beban aktivitas manusia di atasnya. Meski lantai kayu yang ditopangnya telah reyot, berderit ketika diinjak, tiang - tiang itu tetap berdiri meski satu persatu mesti diganti karena lapuk.
Bagai tiang yang menjadi penopang kokohnya sebuah bangunan. Arti keberadaan seorang manusia bagi manusia lainnya adalah saling tolong - menolong. Saling menopang. Kita mesti belajar menjadi penopang bagi kehidupan orang lain, bahagia melihat orang lain bahagia. Yang sering terjadi kita menjadikan orang lain penopang kesuksesan pribadi, dan seringkali tidak senang melihat orang lain sukses. Alangkah indahnya jika nilai gotong - royong itu tidak tergerus dalam kehidupan bermasyarakat.
Kita mesti belajar mencintai orang banyak, dan kita akan mengerti makna keberadaan kita sebagai manusia di tengah kehidupan, dimana orang lain dapat menggantungkan harapan pada kita, dan juga memahami makna kemandirian. Sebab dengan mencintai orang banyak, kita akan belajar untuk melakukan sesuatu demi kebaikan orang banyak secara ikhlas. Lagipula untuk dapat menjadi tempat orang lain menggantungkan harapan, kita mesti mandiri. Dan sejatinya kita pun harus kuat. Karena tempat bergantung yang rapuh hanya akan membuat diri kita sendiri beserta harapan - harapan orang lain jatuh.
Dan sebaliknya, kita pun butuh banyak teman dalam perjuangan. Tapi bagiku, berteman itu adalah bukan karena alasan - alasan masa lalu, kepentingan transaksional masa kini, atau aset untuk harapan masa depan. Makna teman lebih dari itu. Teman adalah tentang memberi dan menolong sebanyak-banyaknya untuk kemudian bersama - sama pula memberi dan menolong sebanyak - banyaknya kepada sebanyak - banyaknya manusia. Teman itu tak dibatasi usia, gender, suku, ras, bangsa, negara, agama, kesempurnaan fisik, harta, kuasa, atau status sosial.
Kita para pemuda, idealnya menjadi tiang semua bangsa. Tonggak - tonggak harapan bagi semua umat manusia dan seisi bumi. Dimulai dari keluarga sendiri, daerah sendiri, bangsa sendiri, lalu seluruh bumi. Itu harus menjadi cita - cita yang kita perjuangkan bersama.
Seringkali di masa sekarang, kita tak mau berpikir hal yang sedikit rumit, sedikit susah, sedikit sulit. Padahal baru sedikit saja. Banyak pemuda hari ini mendengar sedikit kata 'politik', muak. Sedikit kata 'pergerakan', takut. Sedikit kata 'bangsa', langsung disambut dengan kata - kata "Tak usah berpikiran yang jauh - jauh lah".
Di masa depan, kita lah yang akan menggantikan tiang - tiang reyot itu. Hari ini harus kita gunakan semaksimal mungkin untuk menempa diri, menjadi pribadi yang kuat. Kita harus pintar, dan hanya pintar saja pun tak cukup. Kita harus bijak.
Sesusah-susahnya mencari teman, lebih susah lagi menjaga pertemanan. Hubungan pertemanan seringkali rusak karena pada suatu masa terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat adalah hal wajar, justru itulah yang menandakan bahwa kita masih berpikir dan satu sama lain mempertahankan ide yang dianggapnya ideal. Bertegang urat leher dalam adu argumen adalah hal yang wajar selama kita menjunjung etika berdiskusi dan nilai - nilai kemanusiaan yang luhur. Asal jangan debat kusir saja. Tapi hal yang terjadi di lapangan hijau, harus tetap tinggal di lapangan hijau, tidak boleh dibawa ke luar lapangan. Kita memang harus siap, bila suatu saat kawan baik dapat menjadi lawan. Tapi kita juga harus siap dengan solusinya, agar perselisihan tak berlangsung selamanya.
Kita adalah pandan - pandan muda yang dianyam menjadi satu tikar alas tidur. Satu tercabut dari jalinan, maka rusak lah tikar tersebut. Kita adalah gerbong - gerbong kereta yang bertuliskan merdeka atau mati. Senantiasa membawa nada - nada perjuangan dalam harmoni. Satu rantai terputus, maka hilanglah semua gerbong di belakangnya.Kita adalah tiang semua bangsa.
Dani Andipa Keliat
14 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)