Kemarin aku membaca salah satu artikel di harian Kompas. Isinya seolah berkata bahwa mahasiswa saat ini telah stuck dalam pergerakan dan kurang proaktif dalam menyikapi isu serta gejala - gejala sosial-politik di negeri ini. Kesimpulannya, artikel itu secara halus menghimbau mahasiswa untuk kembali proaktif dalam bergerak. Benarkah demikian?
Kita sama-sama menyadari bahwa hal itu mungkin ada benarnya jika dibandingkan dengan tempo dulu, dimana pergerakan mahasiswa yang secara sederhana diartikan sebagai pergerakan yang bersifat supresif terhadap pemerintah atau kaum birokrat dalam bentuk demonstrasi masif, pada kondisi yang sama, telah tereduksi saat ini.
Mengapa demikian?
Mungkin salah satu penyebabnya adalah telah hilangnya 'kesakralan' dari demonstrasi itu. Semua kalangan saat ini dapat berdemonstrasi untuk menyampaikan pendapat, aspirasi, maupun tuntutan keras. Tak lagi hanya mahasiswa yang mampu dan berani berdemonstrasi seperti masa-masa dahulu. Apalagi metode demonstrasi saat ini sepertinya bukan lagi hal besar yang menarik dan dipandang oleh rakyat dalam pesan dan isi yang dibawa, tapi rakyat kebanyakan telah menjadi korban - korban kemanusiaan yang menganggap keberadaan suatu demonstrasi itu adalah penyebab macetnya lalu lintas, salah satu penyebab kerusakan fasilitas umum, sebagai suatu hal yang mengerikan dan meresahkan. Memang karena kita juga yang latah dalam bersikap saat fase awal reformasi setelah Soeharto lengser. Media massa pun telah tak begitu tertarik untuk menggaungkan berita demonstrasi. Lagipula cara demonstrasi pada masa-masa ini telah tak mampu memberikan supresi kepada pemerintah. Mungkin sudah saatnya mahasiswa menarik diri dari kegiatan demonstrasi dan mencari cara lain dalam pergerakannya yang belum banyak orang mampu melakukannya.
Sebagian lapisan mahasiswa mencoba menginisiasikan gerakan yang disebut gerakan horizontal, yaitu dengan terjun langsung ke tengah - tengah masyarakat melalui pengabdian masyarakat dan pengembangan komunitas (community development). Membangun masyarakat dari tataran praktis dan teknis.
Namun tak berarti mahasiswa harus kehilangan peran dalam gerakan vertikalnya, kontrol terhadap pemerintah / kaum birokrat. Hanya saja harus lebih pandai dalam strategi supresi dan penyampaian pesannya.
Jika kaum birokrat memanfaatkan media massa dalam berperang argumen, maka kenapa tidak jika mahasiswa menggunakan pula media massa dalam berperang argumen, press conference misalnya. Yah, kita bisa sama - sama men-danus (dana usaha) lah untuk biayanya.
Mungkin mahasiswa perlu berdebat secara intelektual dengan disiarkan langsung oleh banyak stasiun televisi di gedung DPR/MPR?
Spanduk - spanduk dengan cat pilox atau tulisan tangan yang dipajang di jalan atau di tembok - tembok tak lagi punya kekuatan supresif. Kita masih bisa menyewa satu halaman iklan di koran untuk menyampaikan tuntutan dalam kemasan yang menarik dan berwarna, bukan?
Jika politikus mampu bermain propaganda dan pemutarbalikan fakta melalui konspirasi, kenapa tidak mahasiswa menggunakan propaganda dalam menjelaskan fakta melalui konspirasi pula? Kita tentu mampu dan bisa dalam rekayasa sosial. Hanya harus benar - benar berlandaskan etika dan moral yang sesuai dengan nilai - nilai luhur Pancasila dan melalui kontrol yang kuat. Sebab seni propaganda dan konspirasi ini sangat berbahaya jika digunakan orang yang salah.
Film Die Hard 4 coba menjelaskan bahwa ada empat hal yang mampu menyebabkan total chaos. Yaitu penguasaan dan pengacauan : media massa, komunikasi, lalu lintas, dan pasar modal. Media massa adalah merupakan penyebab yang paling bahaya dan paling instan!
Salah satu indikator sosial budaya menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah "Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Menonton Televisi", yang pada tahun 2009 berjumlah 90,27 %. Angka yang besar! Sehingga penyetiran opini masyarakat berpeluang besar dilakukan oleh media televisi.
Mungkin mahasiswa perlu punya stasiun televisi sendiri?
Tapi cara - cara baru juga tak boleh diterapkan secara membabi buta dan tergesa - gesa. Kita mesti memikirkan matang - matang dampaknya. Dan juga, demonstrasi bukan berarti tak bisa lagi dilakukan. Mungkin suatu saat nanti, ketika kondisi membutuhkan gerakan ultramasif, suatu revolusi. Semua elemen dapat bersatu untuk menumbangkan tiran.
|
Sumber gambar : http://nugie28.files.wordpress.com/2010/08/15demore1.gif?w=397&h=257 |
Just my humble opinion,
Dani Andipa Keliat
30 Juli 2011