***
"Kami dengar kabar bahwa Bapak datang ke pulau
seberang (Tongkabo). Kami sudah rindukan Bapak bahkan sebelum Bapak datang ke
sini."
(Dusun
Panabali, 12 Desember 2011)
Aku sungguh merasa
terharu mendengar kata-kata sang ibu dari Pak Kepala Desa tersebut yang beliau
sampaikan kepada ku ketika aku berkunjung ke rumah mereka di Dusun Panabali,
Desa Tongkabo. Desa yang cukup terisolasi.
Lebih dari setahun
yang lalu, pada Desember 2011, selama kurang lebih satu bulan aku ditakdirkan
Tuhan untuk tinggal di desa ini dalam pelaksanaan suatu proyek dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Tongkabo -salah satu desa dalam Kepulauan Togean yang
terletak di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah- secara administratif terbagi
menjadi 3 dusun: Tongkabo, Panabali, dan Melam. Meski secara administratif
tergabung dalam satu desa, dusun-dusun tersebut masing-masing terletak di tiga
pulau yang berbeda. Laut yang kaya adalah halaman depan -juga halaman belakang- mereka.
|
Halaman depan rumah Pak Idu, Tongkabo. |
Untuk mencapai
Tongkabo, aku telah melewati perjalanan cukup panjang yaitu kurang lebih 3 hari perjalanan, itu pun tanpa ikut menghitung waktu menginap. Mulai terbang dari Jakarta menuju kota Palu, lalu
menginap semalam di kota ini. Pagi keesokan harinya dilanjutkan dengan 9 jam
perjalanan darat menuju Ampana, ibukota administratif Kabupaten Tojo Una-Una.
Setelah di Ampana, ternyata jadwal kapal kayu yang menuju ke Tongkabo adalah
hanya ada dua kali dalam satu minggu - yaitu Selasa dan Sabtu - sehingga aku
mesti menginap lagi dua malam di Ampana.
Perjalanan
menggunakan kapal kayu 'KM. Lumba-Lumba' memberikan cerita dan petualangan
tersendiri, khususnya pada masa-masa angin musim barat bertiup kencang yang
puncaknya di bulan Desember-Januari ini. Angin yang kencang menyebabkan
gelombang air laut tinggi sehingga berbahaya bagi transportasi laut. Beberapa
hari sebelum perjalanan ku ke Tongkabo keberangkatan kapal dihentikan sementara
karena gelombang air laut yang tinggi, atau ada yang diperbolehkan berangkat
tetapi dengan cara mengitari tepian pulau-pulau di Kepulauan Togean, melewati
bagian yang terlindung dari gelombang laut lepas sehingga gelombang air laut di
bagian itu cukup tenang namun menyebabkan perjalanan yang seharusnya ditempuh
dalam 1 hari bisa menjadi 3-4 hari.
Kapal kayu ini
adalah transportasi rakyat yang esensial. Penghubung pulau-pulau dari
keterisolasiannya. Hanya satu kapal yang beroperasi saat itu yang jadwalnya yaitu bertolak dari Ampana hari Selasa, istirahat dan pemeliharaan di pulau terujung
hari Rabu, berangkat kembali menuju Ampana hari Kamis, bertolak lagi dari
Ampana pada hari Sabtu, dan seterusnya. Penumpang kapal ini didominasi oleh
para pedagang dari pulau-pulau di Kepulauan Togean ini. Aku duduk dekat 'jendela'
kapal, merasakan hembusan angin yang cukup kencang dengan sensasi goyangan kapal oleh gelombang. sesekali
terdengar penumpang kapal ber-istighfar
dan berdoa saat amplitudo goyangan kapal
besar. Beberapa kali kapal ini singgah dan menurunkan penumpang di beberapa
pulau yang dilewatinya.
Tiba di Tongkabo,
aku dikenalkan oleh Pak Kepala Desa kepada Pak Idu, Sekretaris Desa, yang telah
menunggu di dermaga. Kami lalu ke rumah beliau. Di rumah Pak Idu lah aku
tinggal selama kurang lebih sebulan. Di desa Tongkabo ini, hanya 4-5 keluarga
yang memiliki mesin genset yang baru
dinyalakan pukul 6 sore hingga 11 malam, Pak Idu salah satunya.
Pak Idu yang
memiliki nama asli Husein, adalah seorang yang sangat baik dan murah hati,
beliau juga seorang pekerja keras. Pak Idu sebenarnya berasal dari Gorontalo,
istrinya lah yang merupakan penduduk asli Tongkabo, sehingga membawa beliau
tinggal di sebuah pulau terpencil seperti ini.
"Pak, saya perlu berkoordinasi dengan rekan-rekan di Jakarta. Bagaimana ya
caranya, Pak?" tanya ku.
"Oh, di sini
tidak ada sinyal handphone. Tapi kalau
cuaca bagus, bisa bacari sinyal barang satu sinyal di dermaga dengan
Telkomsel. Kalau Indosat bisa di atas bukit."
Ya, desa ini bahkan
hanya mendapat 'sisa-sisa' sinyal yang terlempar dari lautan. Itu pun jika
beruntung. Kebutuhan untuk berkoordinasi dengan pihak KKP dan layanan operator
seluler yang aku gunakan mendorong aku untuk berjalan ke ujung desa, kemudian
mendaki bukit yang cukup terjal untuk mendapatkan sebuah sinyal keberuntungan,
dalam makna denotatif. Syarat agar sinyal dapat ditemukan: handphone yang digunakan harus memiliki fitur pencarian jaringan secara manual dan penempatan handphone pada titik harus tepat, bergeser sedikit saja, sinyal pun hilang.
|
Setitik sinyal di atas bukit di ujung desa |
Penduduk desa ini
sangat lah ramah dan lembut. Persepsi awalku yang menggeneralisasi bahwa semua
orang Sulawesi berwatak keras terbukti salah saat aku berbaur dengan masyarakat
di Tongkabo ini. Seringkali setiap pagi penduduk datang ke rumah Pak Idu, saat-saat
berbincang-bincang dengan masyarakat ini lah yang seringkali memberikan banyak
pelajaran kebijaksanaan dan pengetahuan baru.
"Dulu, waktu
jaman penjajahan Belanda, Tongkabo merupakan pusat perdagangan kopra di wilayah
Sulawesi Tengah dan Utara. Tongkabo paling maju dibanding pulau-pulau lain.
Sekarang, Tongkabo bahkan terlihat seperti tidak berpenghuni." ujar
seorang tetua desa yang sudah berumur 80 tahunan. Bahasa Indonesia beliau
sangat baik. Beliau telah pernah menjabat Kepala Desa Tongkabo beberapa kali,
dan pernah merasakan zaman Belanda, sungguh banyak pengalaman.
Sesekali aku ikut
bersama Pak Idu memancing di laut. Laut Kepulauan Togean ini sungguh kaya. Kita
masih lagi dapat melihat ikan kerapu bermain-main di terumbu karang di depan
pekarangan rumah. Terumbu karang yang indah serta spesies ikan yang sangat bervariasi
dengan berbagai ukuran -dan tentunya banyak yang berukuran besar- adalah pemandangan
sehari-hari. Cerita tentang legiun ikan barracuda
yang lewat di bawah perahu katinting -sejenis perahu kecil, yang
lebarnya hanya muat untuk satu orang- menjadi satu tantangan tersendiri yang
membuat merinding! Benar-benar laut yang sangat kaya dan indah!
|
Memancing di atas katinting bersama Pak Idu |
Setiap hari aku
makan ikan yang dipancing langsung dari laut, manis rasanya. Kebutuhan nabati
untuk memasak juga diperoleh dari hasil tanam sendiri dan juga diolah sendiri.
Minyak untuk menggoreng adalah minyak kelapa yang dibuat sendiri oleh Pak Idu,
begitu pula cabai dan bumbu lain yang dipetik langsung dari kebun milik Pak Idu
di tempat yang bernama Baulu, di pulau seberang. Hal yang paling berkesan
untukku mengenai Baulu ini adalah bahwa untuk masuk ke sana kami terlebih
dahulu mesti melintasi hutan bakau yang merupakan habitat buaya air asin.
Perairan yang gelap, teduh, dan tenang tersebut selalu membuat bulu kuduk
merinding ketika melintasinya menggunakan katinting.
Terbayang buaya air asin yang mengintai dari sisi yang tak kita
ketahui!
Suatu kali aku diajak oleh Pak Kepala Desa untuk mengunjungi Dusun Panabali,
tempat dimana rumah beliau berada, di pulau seberang. Dusun Panabali ini dihuni
oleh suku Bajo, suku pelaut ulung. Suku Bajo, yang juga terkenal sebagai suku
yang nomaden dan tersebar hampir di seluruh wilayah pesisir Asia Tenggara,
adalah suku yang biasa menyelam 10-15 meter ke dasar laut tanpa alat bantu apa
pun, suku yang biasa berkelana di laut, sangat menguasai banyak hal tentang
laut. Rumah mereka selalu berupa rumah panggung di atas laut, tidak ada yang di
darat. Di sini, mereka biasa menyelam untuk berburu gurita, mengambil teripang
- yang aku lihat sendiri dengan mata ku, sebesar bantal/guling - dan kima yang merupakan sejenis kerang yang
menempel di terumbu karang. Di Panabali, aku menginap satu malam di rumah Pak
Kepala Desa. Perkataan ibu beliau, yang telah aku sebutkan di atas, begitu
membekas di hati hingga hari ini. Sikap murah hati dan penghargaan yang tinggi
kepada tamu adalah kearifan yang mesti kita pelajari dan amalkan.
Banyak pelajaran dan
kenangan yang aku peroleh selama sebulan di sana, meski daftar petualangan yang
aku tulis belum semuanya terlaksana, seperti: mencari kepiting kenari -
kepiting yang sangat besar yang bersarang di hutan dan bukit-bukit, bukan di
perairan - di sebuah pulau tak berpenghuni di sekitar kawasan Tongkabo itu,
memancing barracuda, dan belajar
menyelam.
Di samping
kebijaksanaan dan petualangan, pengalaman lucu juga pernah aku alami di sana.
Salah satunya adalah ketika aku ditawari untuk menikahi seorang gadis setempat.
"Bagi
laki-laki, berkeluarga itu bukan lah tentang memberi makan. Tapi tentang
tanggung jawab. Mengenai masalah makan, laut kita kaya, tinggal pancing. Mau
sayur tinggal tanam di Baulu. Insya Allah tidak akan kelaparan asal kita selalu
mau bekerja keras." demikian nasehat seorang warga tersebut ketika
menganjurkan untuk 'mengambil' keponakannya.
Pada hari terakhir
di Tongkabo, aku diajak pesiar oleh
salah seorang warga, berkeliling pulau-pulau di sekitar Tongkabo menggunakan katinting. Kami melihat coral reef, terumbu-terumbu karang yang indah,
pulau tak berpenghuni dengan pasir putih, dan keajaiban-keajaiban ciptaan Tuhan
lainnya.
|
Pemandangan dari rumah seorang warga Tongkabo |
|
Pesiar di hari terakhir |
|
Terumbu karang sekitar Tongkabo |
|
Terumbu karang sekitar Tongkabo |
|
Terumbu karang sekitar Tongkabo |
|
Terumbu karang sekitar Tongkabo |
Jangan menyerah pada keadaan!
Kita adalah orang-orang yang telah dibekali akal untuk
bervisi dan menyusun strategi
untuk merasa, dibekali hati
untuk maju, dibekali ambisi
Jangan menyerah pada keadaan!
Meski pun hari ini kita lapar dan penuh beban
Meski pun keadaan menekan untuk segera mapan
Tetap, jangan lupakan visi, strategi, dan harapan
Lihat lah alam raya
langsung pada jantungnya
Tanah, air dan matahari yang kaya
Serta kearifan masyarakat desa
Dimana nilai dan budaya
Tak bisa kau seragamkan dengan satu deskripsi, versi pusat
kota
Dani Andipa Keliat
Bandung, 10 Maret 2013